Hina Penjual Sayur, Gubernur Jepang Pilih Mundur: Bagaimana Miftah Maulana?

Miftah dan Pedagang Es Teh

Nama Miftah Maulana Habiburrahman mendadak jadi perbincangan hangat. Sebagai seorang pendakwah sekaligus Utusan Khusus Presiden Bidang Kerukunan Pembinaan Sarana Keagamaan, Miftah mendapat sorotan tajam usai video dirinya menghina seorang pedagang es teh asal Grabag, Magelang, bernama Sunhaji, viral di media sosial.

Kronologi Peristiwa Miftah dan Pedagang Es Teh

Dalam potongan video yang tersebar, terlihat Miftah bertanya kepada Sunhaji mengenai dagangannya. Alih-alih memberi semangat, ucapannya justru bernada menghina. Dengan santai, ia berkata, *”Es tehmu jik okeh ra? Masih? Yo ono didol **,” disambung dengan candaan soal takdir jika dagangan belum laku. Ucapan ini disambut tawa dari para pemuka agama di panggung dan jemaah yang hadir.

Sayangnya, reaksi tersebut justru menyisakan luka bagi Sunhaji, yang hanya diam terpaku memanggul dagangannya. Video ini memicu gelombang kritik terhadap Miftah, yang kemudian berujung pada permintaan maaf langsung ke rumah Sunhaji, Rabu (4/12/2024).

Miftah dan Pedagang Es teh

Namun, permintaan maaf tersebut tak serta-merta meredakan amarah publik. Banyak pihak mendesak Presiden Prabowo Subianto untuk mencopot Miftah dari jabatannya. Terkait hal ini, Juru Bicara Kantor Komunikasi Kepresidenan, Ujang Komarudin, menjelaskan bahwa keputusan pencopotan adalah hak prerogatif Presiden. Seperti dilansir Tribun.

Kasus Serupa di Jepang: Gubernur Shizuoka

Kasus serupa pernah terjadi di Jepang. Pada April 2024, Heita Kawakatsu, Gubernur Prefektur Shizuoka, dihujat publik setelah menghina penjual sayur. Dalam pidatonya, ia menyebut bahwa para pegawai negeri yang dilantik lebih cerdas dibandingkan mereka yang menjual sayur atau memelihara sapi.

Tak berhenti di situ, Kawakatsu juga pernah mengeluarkan kebijakan kontroversial berupa pemeringkatan wilayah berdasarkan budaya, yang dinilai merendahkan keberagaman. Ia bahkan mengejek Kota Gotemba dengan menyebut kota itu hanya punya koshihikari (jenis beras) sebagai makanan unggulan.

Tekanan publik akhirnya membuat Kawakatsu mempercepat pengunduran dirinya pada 10 April 2024, tanpa menunggu sidang etik. Dalam konferensi pers, ia menyatakan, “Saya mengajukan pengunduran diri untuk memperpendek masa jabatan saya.”

Refleksi: Tanggung Jawab Pemimpin

Baik Miftah maupun Kawakatsu menjadi contoh bahwa setiap ucapan seorang pemimpin memiliki dampak besar. Saat kata-kata menyakiti, wibawa dan kepercayaan publik ikut dipertaruhkan.

Dalam situasi ini, transparansi, kesediaan untuk bertanggung jawab, dan introspeksi adalah kunci. Miftah sudah meminta maaf, tapi publik masih menunggu langkah selanjutnya, termasuk apakah Presiden akan mengambil tindakan tegas seperti yang dilakukan masyarakat Jepang terhadap Kawakatsu.

Sebagai pemimpin, menjaga tutur kata adalah bagian dari tanggung jawab. Sebab, setiap ucapan bukan hanya soal personal, melainkan representasi dari nilai yang dibawa. Publik selalu punya harapan besar kepada para pemimpin, dan harapan itu hanya akan terwujud jika mereka mampu menjadi panutan. Semoga kasus Miftah dan pedagang es teh ini menjadi pengingat kita semua untuk selalu menjaga tutur kata. Ingat, mulutmu Harimaumu!