Tentang Minimalisme dan Pikiran yang Terusik

Metode KonMari (Goop)

Pernah ngerasa sumpek banget waktu buka lemari?

Merasa nggak punya baju yang dipakai buat kerja atau hangout sama teman?

Padahal pas buka lemari, isinya penuh sesak sampai susah ditutupnya. Hihihi. Kamu diantaranya yang kayak gitu nggak sih? Mungkin saja kita merasa nggak punya baju yang bisa dipakai, karena lemari dipenuhi pakaian yang cuma dipakai 4 bulan sekali karena tidak nyaman, atau yang sudah bertahun-tahun nggak dipakai.

Terus kalau sudah tahu nggak pernah dipakai masih tetap saja disimpan? Coba kita tanya ke diri sendiri kenapa begitu. Apa ya motivasi kita sampai merelakan ruangan-ruangan di setiap sudut rumah – terutama lemari – untuk menyimpan barang-barang yang sama sekali sudah tidak kita butuhkan?

Kadang sih alasannya karena siapa tahu baju yang sekarang sudah kekecilan bisa dipakai lagi 3 bulan mendatang kalau berat badan sudah turun. Nyatanya, berat badan bukannya turun tapi malah naik. Haha. Atau, mungkin saja barang itu sentimentil sehingga kita benar-benar nggak mau memindahkan tempat atau menyingkirkannya. Misalnya kotak mainan usang peninggalan dari kakek buyut, atau lembaran foto dengan teman waktu masih di sekolah dasar yang sudah tidak jelas lagi gambarnya.

Januari 2019 lalu aku mulai baca buku Fumio Sasaki, Goodbye Things: Hidup Minimalis Ala Orang Jepang. Lanjut baca bukunya Marie Kondo, The Life Changing Magic of Tidying Art. Bedanya, kalau Sasaki benar-benar declutter barang-barangnya. Di apartemennya, dia hanya punya kurang lebih 150 barang, sudah termasuk bumbu makanan. Dia bahkan bisa menyebutkan daftar pakaian yang dimiliki tanpa melihat langsung isi lemarinya. Beberapa baju juga punya warna yang sama. Kebayang nggak tuh? Itu contoh ekstremnya, yang sepertinya tidak mungkin untuk ditiru.

Kamu bisa nonton video Asian Boss yang wawancara dengan Sasaki dibawah ini. Videonya sudah aku tonton mungkin lebih dari 25 kali. Cukup bisa menghentikan saat hasrat ingin belanja sedang menggebu. Haha:

Meet The Most Famous Minimalist In Japan: Fumio Sasaki | ASIAN BOSS

Kalau Marie Kondo, dia lebih mengajari kita agar menyimpan barang-barang yang bikin spark joy. Fokus pada barang yang mau disimpan, bukan yang akan kita buang. Kondo bahkan sudah memberikan training beres-beres rumah langsung ke tempat tinggal kliennya yang ada di beberapa negara. Ini contoh videonya:

How Marie Kondo Helped Me Face My Biggest Home Organization Challenge / CupcakesandCashmere

Dari situ lah hasrat ingin hidup minimalis muncul. Tapi ternyata susah juga ya. Apalagi kita masih hidup diantara orang-orang hedonis. Lalu kadang berpikir, mungkin kalau tinggal di Jepang seperti Sasaki dan Kondo akan lebih mudah, karena di sana minimalisme sudah punya banyak ‘pengikut’. Kalau diterapkan di Indonesia memungkinkan nggak? Mungkin malah dikira nggak pernah ganti baju. Haha.

Tapi tenang, masih ada jalan lain. Kita bisa meniru cara Marie Kondo. Paling nggak, lemari jadi lebih rapi dan hanya menyimpan barang yang kita butuhkan serta menimbulkan kegembiraan. Jangan barang yang malah bikin pikiran sumpek.

Coba aja dulu. Pasti nanti setelah memilih baju yang benar-benar disukai ada rasa ‘plooong’. Serius deh, coba dulu ya! Mulai aja dulu dari pakaian (baju, celana, kaos kaki, topi, hijab, sampai pakaian dalam). Sortir dan hanya simpan yang disukai dan pasti dipakai.

Kamu baru akan ngerti maksud ‘plooong’ setelah melakukannya. Hehe. Pakaian yang masih layak pakai tapi nggak bikin spark joy bisa didonasikan bisar lebih bermanfaat untuk orang lain. Menyimpan pakaiannya bisa pakai metode KonMari seperti gambar ini ya:

Menyimpan Pakaian dengan Metode KonMari (Thespruce)

Pakaian yang digantung pastikan tidak berjubal dan mudah untuk diambil:

(Konmari.com)

Ingat ya, minimalis bukan berarti nggak punya barang sama sekali atau membuang barang-barang hingga jumlah paling sedikit. Lebih baik menyimpan barang yang benar-benar kita butuhkan. Bukan berarti nggak beli baju baru, tapi membeli baju yang dibutuhkan dan akan dipakai. Minimalis juga bukan berarti berpenampilan sembarangan, tapi harus tetap sedap dipadang.

Tahu nggak kalau selama ini barang-barang yang kita miliki selalu mengusik pikiran. Nggak percaya? Bayangkan kamu lagi duduk santai di depan TV setelah pulang kerja. Di atas meja sebelah TV ada buku yang sudah sebulan lalu dibeli hanya karena covernya lucu. Seolah-olah buku itu berbisik “baca aku! baca aku”.

Saat akan masuk ke kamar mandi melewati tumpukan baju kotor, saat itu juga baju-baju itu seolah ngomong “cuci aku, cuci aku”. Belum lagi saat akan membuka pintu dan melihat sepatu warna putih yang kotor bilang “cuci aku”, dan sepatu warna beige bilang “pakai aku please, sejak 2 bulan lalu aku nganggur nih”.

Tanpa disadari barang-barang itu seolah bicara dan mengusik pikiran kita. Semakin banyak barang, semakin banyak juga yang berbisik mengganggu pikiran. Padahal harusnya masih ada hal lain yang lebih produktif dilakukan, dari pada memikirkan barang-barang itu.

Setelah terusik barang-barang itu tadi, eh ujung-ujung malah rebahan di kasur karena bingung mulai dari mana dulu yang dibereskan. Begitu seterusnya sampai Saras 008 berteman sama Mr. Black.

Situasi akan menjadi sangat berbeda jika lemari hanya diisi dengan pakaian yang kita suka dan pasti dipakai, memilih baju bukan lagi kegiatan yang memakan banyak waktu. Nggak perlu lagi mengambil baju dari lemari, menimbang-nimbang pantaskah digunakan, lalu meletakkannya lagi. Drama depan lemari akan sirna kalau yang ada di depan mata hanya yang kita sukai dan pasti nyaman dipakai.

Lemari bukan satu-satunya yang kadang tanpa disadari sudah merampas waktu kita. Banyak hal lain contohnya tumpukan kertas nggak terpakai di meja kerja, atau peralatan masak yang hanya dipakai setahun sekali tapi harus rutin membersihkan debunya.

Apa lagi ya? Coba tengok kanan, kiri, depan belakang (yak! olahraga deh wkwk) yang ada di ruangan kamu saat ini. Beres-beres rumah nggak tentang membersihkan dan sortir barang, tapi juga berdampak baik pada pikiran.

Nah, kalau sudah tahu rasa ‘plooong’ tadi, ceritain ke aku ya! Tertarik jadi minimalis?

Surabaya, 21 April 2020

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.